Sabtu, 27 Oktober 2007

MENGUAK IDEOLOGI MILITERISME DALAM FILM INDONESIA

Menurut Amitabachan, film tidak hanya merupakan gambar hidup yang dipertontonkan semata, namun film merupakan ungkapan emosi dan perasaan, refleksi budaya, dan ekspresi seseorang dalam seni, social, dan politik dengan keunikannya. Yang dapat mempengaruhi perilaku penonton dengan dukungan seting dalam film maupun tempat untuk menonton (Amitabachan, Festival Film India, 2004). Sebagai sosok yang menerjuni dunia perfilman, bintang India yang terkenal ini mengakui bahwa film memang hendak mengarahkan penonton (masyarakat) pada pemahaman tertentu.
Hubungan antara film dan kekuasaan sesungguhnya menjadi perhatian yang serius dari para pemikir dan ahli komunikasi. Menurut Stuart Hall (dalam Eriyanto, 2000), misalnya, mengatakan bahwa film sebagai medium massa pada dasarnya tidak memproduksi melainkan menentukan realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih; maka tidaklah secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa tetapi sebuah pertentangan social, perjuangan dalam mewenangkan wacana.
Di negeri ini, kekuasaan juga telah menggunakan film sebagai media untuk melakukan dominasi dan hegemoni terhadap rakyat banyak, demi kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enak sendiri. Di masa pemerintahan rejim militeristik Orde Baru, film digunakan untuk mengkonstruksikan pandangan ideologis warga Negara yang tujuannya adalah mengekang kehidupan berdemokrasi. Nasionalisme semu ditebarkan dengan memperbanyak film-film perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi menyembunyikan fakta bahwa pemerintah melakukan tindakan sistematis untuk menciptakan ketertundukan, menumpulkan nalar kritis sebagai landasan kehidupan demokrasi. Kebebasan seniman film di era Orde Baru begitu sempit dan yang ada hanyalah penulis cerita yang didikte oleh perusahaan produser film yang diawasi secara ketat oleh pemerintah.
Film yang berkembang dikontrol secara ketat di bawah kendali pemerintah militeristik dengan memberlakukan penyensoran formal, informasi, dan kepemilikan suatu karya. Pada masa itu, film-film bertemakan sejarah politik yang tampil sebatas pada kisah perlawanan bersenjata terhadap penjajahan sebelum dan sesudah Perang Dunia II di mana dominasi kekerasan fisik lebih ditonjolkan oleh perjuangan tokoh utamanya, seperti Joko Sembung dan Si Pitung. Dominasi militer sangat menonjol dalam film-film yang ditonton secara massif oleh rakyat karena mobilisasi struktur pemerintahan militer waktu itu, misalnya film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1983). Belakangan diketahui bahwa film tentang “Serangan Umum 1 Maret 1949” ini tidak objektif dalam menggambarkan sejarah yang sebenarnya karena terlalu menonjolkan (posisi dan peran) Soeharto dalam merebut ibukota Yogyakarta (sebagai ibukota RI waktu itu); sedangkan peran diplomatis yang sangat menentukan dari Hamengku Buwono IX dinegasikan. Film-film sejarah lain seperti Mereka Kembali (1972) dan Bandung Lautan Api (1975) yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) dan disponsori oleh Kodam Siliwangi juga bertujuan sama, untuk melanggengkan dominasi militer dalam kebudayaan Indonesia.
Menjelang akhir keruntuhan Orde Baru, film-film Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru, perfilman Indonesia berada titik yang paling mengerikan. Masyarakat dibombardir dengan produksi film-film ‘panas’ yang mengumbar syahwat.
Maka setelah Soeharto tumbang dan peran militer mulai berkurang, dominasi militer dalam film juga mulai digugat. Film sejarah Gerakan Tiga Puluh September (G 30 S) 1965 yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PPFN), yang selama pemerintahan Ode Baru diputar setiap tahun, menjadi kontroversial. Film tersebut bukan hanya menceritakan konteks politik yang terjadi pada awal tahun 1960-an hingga tahun 1966, tetapi juga sangat kentara sekali dalam menonjolkan Soeharto sebagai seorang prajurit yang paling nasionalis setelah mempelopori pembantaian sejuta lebih nyawa rakyat yang dituduh terlibat memberontak terhadap bangsa dan Negara. Ada permainan dan manipulasi nasionalisme dalam film sejarah ini.
Film-film independen yang mencoba menjernihkan manipulasi sejarah Orde Baru pun juga mulai dibuat. Kehadiran film dokumenter “Kado Buat Rakyat Indonesia (KBRI)” yang dipeoduksi oleh Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), mencoba menarasikan peristiwa mulai tahun 1960-an hingga Orde Baru secara kronologis dan dialektis. Artinya, film ini mengungkap konstelasi politik yang sebenarnya dari peristiwa yang terjadi hingga kekuasaan rakyat disodomi oleh minoritas elit bersenjata dan borjuis kecil Indonesia yang pada perkembangannya mendominasi panggung politik bangsa ini. Sebelum film documenter yang dibuat pada tahun 2003 itu, film “Gerakan Mahasiswa 1998” (Student Movement in Indonesia 1998) yang diproduksi pada tahun 1999 juga ikut memberikan pencerahan bagi rakyat karena film ini juga bercerita dari perspektif gerakan (mahasiswa), sebuah refleksi penting tentang transisi demokrasi di Indonesia antara sebelum dan sesudah Soeharto jatuh dari kursi kepresidenan. Tak mengherankan jika film yang disutradarai oleh Tino Saroengalo ini dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik dab mendapatkan Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) 2004.
Selain film dokumenter tersebut, FFI 2004 memberikan film-film perjuangan rakyat tertindas dalam memaknai nasionalisme. Nasionalisme kekinian masihlah menjadi spirit perjuangan rakyat bawah, yaitu nasionalisme yang mengakar. Sendal Bolong untuk Hamdani, Marsinah, yang juga dinobatkan sebagai karya terbaik memotret kesusahan hidup dan perlawanan yang dilakukan oleh kaum buruh.



PELUANG DAN TANTANGAN PARTAI POLITIK BARU MENUJU PEMILU 2009
Oleh: NURANI SOYOMUKTI

Meskipun Pemilu 2009 masih dua tahun lagi, telah terjadi euforia politik mendirikan partai baru. Tercatat misalnya nama-nama partai seperti Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Partai NKRI, Partai Persyarikatan Rakyat (PPR), dan beberapa partai Kristen (PDKB, Kristen-Demokrat, Kristen Sosialis) membentuk Partai Kristen Bersatu. Juga terdapat partai baru pecahan PDI-P yakni Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP). Secara tipologis ada beberapa hal yang menjadi sebab munculnya partai-partai baru tersebut. Pertama, partai-partai baru yang muncul dilatarbelakangi oleh keinginan membangun alat politik baru karena yang lama sudah tidak memadai. Yang masuk kategori ini adalah PKR yang salah satu pendirinya Dawam Rahardjo seorang cendekiawan yang dulu bergabung di PAN dan mantan politisi Partai Damai Sejahtera.
Kedua partai-partai baru yang muncul karena pertentangan/konflik internal partai-partai lama/partai besar seperti lahirnya Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) yang dipimpin Roy BB Janis dan Laksamana Sukardi, pecahan PDIP, atau partai NKRI yang digagas Sys Ns mantan politisi Partai Demokrat.
Ketiga, partai baru hasil penggabungan partai-partai kecil yang dulunya memperoleh suara kecil dan terancam oleh mekanisme verifikasi Depkeham dan KPU, maupun electoral threshold, misalnya Partai Kristen Bersatu. Keempat, partai-partai baru yang digagas oleh aktivis gerakan rakyat, gerakan mahasiswa, LSM, serikat buruh, serikat tani, atau pekerja seni seperti Partai KP-Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) dan Partai Pesyarikatan Rakyat (PPR).
Ghiroh mendirikan partai ini tampaknya masih berkaitan dengan nuansa pasca-Orde Baru yang menunjukkan rakyat lebih bebas untuk menyalurkan aspirasinya. Dalam sebuah negara yang demokratis dan menghormati hak-hak warganya, pendirian partai-partai baru tentunya merupakan kemajuan. Logikanya, semakin banyak organisasi berdiri, kanal (saluran) politik bagi rakyat semakin banyak.
Banyak pendapat yang dilontarkan oleh para pengamat tentang munculnya partai-partai baru ini. Sebagian memandang sinis, sebagian juga ada yang optimistis. Yang jelas, pandangan dan tanggapan terhadap partai-partai baru tidak lepas dari kondisi kepartaian yang ada di Indonesia. Kita menjumpai wajah yang berbeda-beda dalam berbagai macam kurun waktu dalam perkembangan peta politik kebangsaan kita. Kita tidak bisa menilainya secara hitam putih, tetapi harus secara objektif.
Alat Perjuangan dan Pencari Kekuasaan
Apatisme terhadap partai-partai baru harus dilihat dalam konteks citra partai-partai yang ada selama ini, terutama yang mempunyai hubungan langsung dengan proses pengambilan kebijakan ekonomi-politik di masyarakat. Partai-partai ramai didirikan dan ada yang lolos untuk berkompetisi dalam pemilu 1999 dan 2004. Maka, output kebijakan yang menimpa nasib rakyat logikanya adalah hasil dari proses pembuatan kebijakan (policy making process) yang dilakukan oleh kekuasaan/pemerintah yang orang-orangnya direkrut dari partai-partai politik yang ada.
Sayang, masih sangat jelas, partai lama (Golkar) masih menjadi kekuatan. Sedangkan partai-partai baru yang memiliki kekuatan hampir sama, yang awal-awal berwatak sok reformis, akhirnya juga ikut larut dalam upaya untuk membuat kebijakan yang menindas. Dengan partai-partai dan para tokoh-tokoh yang menjadi aktor kunci dalam pembuatan kebijakan di negeri ini semuanya menghasilkan kebijakan yang bukannya mengatasi permasalahan rakyat, tetapi justru menambah kesengsaraan. Dalam konteks sekarang, partai-partai baru masih mewarisi citra partai lama yang 'anti-rakyat' tersebut, padahal partai adalah alat organisasi bagi rakyat untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya.
Meskipun demikian, pada saat yang bersamaan, partai-partai baru sebenarnya bergantung pada kemampuan mencitrakan diri 'bersih' dan 'berbeda'. Masa depannya bergantung pada landasan ideologis, strategi-taktik, dan program-program yang berbeda dengan partai lama, dan memiliki kemampuan untuk menunjukkan bahwa ia memang berbeda.
Objectively, ada dua hal yang menunjukkan bahwa partai lama memang tidak mampu dan mau untuk memberikan perbaikan pada nasib rakyat. Pertama, partai lama ketika berkuasa tidak menjawab persoalan, tetapi justru mengkhianati rakyat. Sejak Orde Baru dianggap tumbang setelah Soeharto jatuh, ternyata partai Golkar (yang dalam pemilu 1999 dan 2004 masih berada di papan atas) masih kuat. Sedangkan partai-partai baru seperti PDIP, PAN, PKB, PKS, PBB, Demokrat, dan lain-lain juga menjadi penopang bagi kebijakan pemerintah untuk mengambil kebijakan dan tindakan-tindakan ekonomi politik yang justru semakin menyengsarakan rakyat.
Kedua, partai-partai lama banyak yang dilanda perpecahan. Perpecahan ini kadang-kadang dibaca oleh rakyat sebagai konflik rebutan jabatan dan kekuasaan, dan dengan demikian keberanian para elit partai-partai tersebut bukanlah keberanian untuk menyuarakan suara dan tuntutan rakyat--tetapi keberanian dan tindakan untuk berebut kekuasaan dalam menipu rakyat.
Demikian pula yang dibangun oleh partai politik lain, termasuk PKS misalnya. Meskipun dianggap partai yang berlatar belakang bersih namun posisi PKS berkoalisi dengan rezim sekarang sedikit banyak memengaruhi dukungan massa, PKS masuk dalam bagian dari rezim yang menaikkan harga BBM; mendukung komando teritorial TNI; dan partai-partai lain yang mendukung impor beras, mengampuni Soeharto, dan lain-lain. Dalam persoalan program, PKS, misalnya, tidak punya program konkret, selain isu-isu idealisme moral seperti dukungan atas perjuangan rakyat Palestina melawan Zionis, anti-pornografi, “pemerintahan bersih”.
Ketika berhadapan dengan imperialisme maka PKS menyerukan masyarakat berlawan hanya karena penjajah global itu berasal dari Barat/dunia non-Islam tetapi tidak ada sebuah program politik-ekonomi untuk melawan/ berkonfrontasi dengan imperialisme pada saat imperialisme telah memiskin semua umat manusia (termasuk di Indonesia), bukan hanya orang Islam. Di beberapa daerah tempat PKS dominan, penggusuran tetap saja terjadi. Upah buruh tetap saja murah, pendidikan dan kesehatan tetap saja mahal, korupsi tetap saja terjadi. Situasi material kemiskinan masyarakat semacam itu membuat tawaran agamis dari partai-partai Islam tampaknya tidak akan cukup efektif dalam menggaet massa rakyat untuk mendukungnya.
Sebagaimana disampaikan pengamat politik Bachtiar Effendi, partai Islam diyakini tidak akan menjadi pemenang pemilihan umum. Perolehan terbanyak partai ini dalam sejarah hanya 42.5 persen pada Pemilu 1955 (Koran Tempo, Minggu, 15 Oktober 2006). Menurutnya, partai Islam tidak bisa tampil sebagai partai penguasa layaknya partai-partai berbasis sekuler, seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan, ataupun Partai Demokrat. Sebab, kata dia, wilayah politik partai Islam terbatas. Partai Islam kerap membawa isu lama, seperti penerapan syariat, pembentukan negara Islam, dan presiden beragama Islam. Partai Islam yang pada 2004 memperoleh suara yang cukup signifikan seperti PKS, yang awalnya membawa isu-isu populis (dan bukan sekedar isu religius atau moralis), ternyata justru mendukung kebijakan SBY-Kalla yang tidak populis.
Hal inilah yang juga dicatat oleh partai-partai baru yang hendak membawa simbol Islam dalam partainya. Menggunakan retorika, sentimen, dan isu-isu agama dalam sebuah kampanya politik demi menangguk simpati massa dan mendongkrak perolehan suara belum tentu menguntungkan sebuah partai politik. Masyarakat ternyata lebih membutuhkan isu-isu dan program-program yang lebih nyata menyangkut hajat hidup mereka yang paling asasi. Beberapa survei menunjukkan, isu perbaikan sektor ekonomi yang lebih menjanjikan dianggap paling mendesak untuk diusung dan dikedepankan. Sementara isu atau janji pemberlakuan syariat Islam, dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan berkaitan dengan Pemilu 2004 lalu, justru berada pada nomor buncit kebutuhan masyarakat.
Partai politik Islam, apalagi tanpa mengakomodasi tuntutan-tuntutan kerakyatan dan memperjuangkan keadilan ekonomi, tampaknya masih akan ditinggalkan oleh banyak pemilih. Sebagaimana diungkapkan Bachtiar Effendi yang mengamati dan meneliti politik Islam di Indonesia, setelah Pemilu 1955 dukungan ke partai Islam terus menurun. Data ini dikuatkan hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia pada 23 September hingga 3 Oktober 2006. Sebanyak 1.092 responden berusia di atas 17 tahun yang beragama Islam lebih berorientasi partai sekuler dalam berpolitik. Artinya, hasil penelitian Lembaga Survey Indonesia (LSI) menunjukkan Islam politik dalam tingkat elektoral dan politik kepartaian menjelang pemilu 2008 belum menunjukkan tanda-tanda adanya peningkatan jumlah suara. Dari hasil pengukuran opini publik tentang prospek pemilu yang dilakukan LSI, partai-partai Islam seperti PKS, PBB, PPP belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Mereka jauh tertinggal oleh partai-partai sekuler (Golkar, PDIP, Demokrat) seperti yang terjadi dalam Pemilu 2004 (Media Indonesia, Minggu 15 Oktober 2006).
Partai-partai lama tentunya akan melakukan hegemoni kesadaran terhadap masyarakat agar kekuasaan tetap bisa direngkuh. Sebagai contoh, Golkar akan tetap mengorganisasi modal ekonomi-politik lama untuk menampilkan citra dan memobilisasi suara, melalui struktur dan media-media yang dikuasainya. Demikian juga, PKS akan tetap melakukan hegemoni kesadaran dengan menggunakan agama dan rasialisme, mengumandangkan sentimen moral dan agama untuk mempertahankan dan meningkatkan perolehan suaranya--bahkan juga menyebarkan paham fatalisme dan mistisisme dengan mengintervensi media (TV, koran, majalah, tabloid) agar kesadaran rakyat terpaku pada kebenaran program-program partainya.
Meskipun demikian, partai baru masih akan tetap memiliki peluang untuk mengambil posisi berhadapan dengan partai-partai lama sepanjang ia mampu menerapkan landasan ideologis, strategi-taktik, program, dan tindakan politik yang mampu merubah kesadaran massa ke arah perbaikan struktur ekonomi-politik yang memihak rakyat. Jika menurut data-data penelitian di atas, partai-partai lama masih akan tetap menang, mungkin kemenangan mereka tidak akan sekuat pada pemilu sebelumnya.
Artinya, partai-partai baru disediakan oleh kondisi objektif masyarakat yang harus direspons dengan tampilan partai yang cocok untuk perubahan. Partai baru masih punya ruang terbuka untuk menantang--bahkan menggantikan--posisi partai-partai lama yang nyata-nyata tidak mampu menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah permasaalahan bangsa (kemiskinan dan penindasan).

Otoriterisme Sumber Malapetaka

BERTITIK tolak dari keberhasilan gerakan reformasi, sepatutnya kita semua, tanpa kecuali, melibatkan diri dalam usaha bersama mencari jalan untuk memperbaiki keadaan secara menyeluruh. Logika gerakan reformasi adalah kritik terhadap bentuk keadaan yang sedang berlaku dan usaha mendapatkan bentuk keadaan yang lebih baik.
Karena logika itu, reformasi tidak mungkin dimulai dari nol atau ketiadaan, betapapun radikal dan fundamental perbaikan yang diusahakan. Justru keberhasilan gerakan reformasi harus dipandang sebagai kelanjutan wajar dan alami dari tingkat kemajuan masyarakat dan dinamika perkembangannya.
Maka pandangan yang hendak mempertahankan status quo akan tampil sebagai penghalang reformasi. Sebab, pandangan itu merupakan suatu pengingkaran terhadap logika perkembangan masyarakat yang terus maju dan meningkat.
Hakikat bangsa, negara, dan masyarakat kita adalah hasil akumulasi pengalaman pembinaan dan pengembangan sejak masa lalu yang jauh. Unsur-unsur asasi format kenegaraan kita mula-mula diletakkan oleh para pendiri negara. Dari hasil usaha mereka itulah kita sekarang mewarisi nilai-nilai asasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai asasi itu, sebagaimana wajarnya, tercantum sebagai dasar-dasar negara dalam mukadimah konstitusi kita. Perangkat nilai itu pijakan kita bersama dalam usaha membina dan mengembangkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam suatu struktur politik yang kita pilih dan tetapkan dalam konstitusi, dengan kemungkinan pengembangan dan perbaikan terus-menerus.
Ideologi Terbuka
Suatu hal yang patut kita terima dengan penuh syukur kepada Tuhan adalah kesekapatan bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka. Lepas dari kenyataan rumusan dan pengalimatan formalnya, sebagaimana terpateri dalam Mukadimah UUD 45, setiap nilai yang lima itu menciptakan pandangan sosial politik yang potensial sama dan selaras di antara semua anggota masyarakat, mengikuti common sense setiap pribadi.
Pandangan sosial politik yang dihasilkan itu semua absah belaka, sepanjang tidak secara kategoris melawan dan menghalangi jiwa dan semangat titik temu kebaikan bersama di antara semua golongan, tanpa diskriminasi atau pembedaan secara tidak benar. Justru paham kemanusiaan universal juga menghendaki kita percaya pada kebaikan bersama yang dihasilkan oleh dinamika wancana umum dan bebas, dengan mempertaruhkannya pada bimbingan hati nurani kemanusiaan universal itu. Karena itu pikiran-pikiran rezimenter yang menghendaki penyeragaman pandangan masyarakat melalui kegiatan indoktrinasi artifisial adalah suatu gejala yang timbul hanya dari ketiadaan kepercayaan kepada kebaikan kemanusiaan serta dinamika pertumbuhan dan perkembangan ke arah lebih baik dalam suasana kebebasan yang wajar.
Dalam kenyataan sosiologis historis, feodalisme dan paternalisme adalah pangkal pikiran-pikiran rezimenter. Demikian juga pandangan negatif pesimistis kepada kemanusiaan. Karena itu, penafsiran dan penjabaran nilai-nilai asas kenegaraan dan kemasyarakat dalam Mukadimah UUD 45 harus dibiarkan terbuka terhadap dinamika perkembangan masyarakat.
Maka tidak dibenarkan ada penafsiran dan penjabaran dalam rumusan-rumusan yang dibuat "sekali dan untuk selamanya" oleh perorangan atau kelompok dengan klaim wewenang atau otoritas eksklusif. Otoritarianisme dalam pikiran akan datang dengan sendirinya berkolerasi kuat dengan otoritarianisme kenegaraan semua bangsa, termasuk bangsa kita. Otoritarianisme itu terbukti merupakan sumber malapetaka nasional. Di samping itu, suatu nilai asasi yang dijabarkan secara otoriter "sekali untuk selamanya" akan menjelma menjadi sebuah ideologi tertutup. Dan, sebuah ideologi yang tertutup, karena logika internalnya yang tertutup, dengan sendirinya terancam menjadi ketinggalan zaman, tidak relevan dengan kenyataan-kenyataan hidup yang secara dinamis terus berkembang secara terbuka.
Untuk prinsip bimbingan hidup (guiding principle), yang diperlukan sebuah masyarakat bebas dan merdeka adalah kesetiaan pada kesucian hati nurani. Dan, karena hati nurani selamanya bersifat individual, kesetiaan pada hati nurani melibatkan perlindungan pada kebebasan hati nurani mengambil bentuk nyata dalam kebebasan beragama.
Sebab, dengan ajaran agama, melalui keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesucian hati nurani dikukuhkan. Agama menamakan keimanan dan ketakwaan dalam dada, yang merupakan milik pribadi yang bersangkutan yang paling dalam dan berharga, karena bersangkutan dengan kesadaran akan makna dan tujuan hidup.
Keimanan dan ketakwaan dalam dada itu merupakan wewenang suci Tuhan untuk mengetahui, mengukur, dan menilai, dan sama sekali bukan wewenang sesama manusia. Semua pandangan prinsipil itu diisyaratkan dalam nilai pertama Mukadimah UUD 45 yang secara amat tepat oleh disebut Bung Hatta sebagai prinsip yang menyinari nilai-nilai yang lain dalam mukadimah itu. Karena itu, pengusikan dan pengingkaran hak individu dan sosial manusia karena pandangan keagamaan adalah pelanggaran terhadap prinsip kebebasan nurani. Sebaliknya, demi kebebasan nurani itu, masyarakat dan negara wajib menjaga keutuhan semua pranata keagamaan seperti biara, gereja, sinagoge, dan masjid, karena pranta atau institusi keagamaan adalah sarana dan tempat penanaman keimanan kepada Tuhan (lihat Alquran, Surah 22, Ayat 40).
Dengan latar belakang memori kolektif tentang berbagai bentuk pertentangan sosial dan kultural masa lampau, keperluan akan pengembangan sikap dan pandangan kemanusiaan yang bahagia dengan kebebasan dan kemerdekaannya adalah masyarakat yang didukung jalinan hubungan kasih Illahi yang suci (rahmah, agape) yang merupakan kelanjutan dari cinta kearifan kemanusiaan harizontal (mawaddah, philos) dan cinta tingkat permulaan atas dasar pertimbangan-pertimbangan bentuk lahiriah.
Dalam semangat cinta kasih Illahi itu terlahir sikap pernghargaan yang tulus dan pandangan penuh harapan kepada sesama manusia. Karena fitrah dari sang Khalik, setiap jiwa manusia adalah makhluk kesucian, kebaikan, dan kebenaran, sebelum terbukti sebaliknya. Penyimpangan dari fitrah harus dipandang sebagai faktor pengaruh negatif dari luar dirinya. Semangat merusak fitrah itu adalah akibat kelemahan kemakhlukannya.
Karena faktor fitrah itu, hak setiap orang untuk menyatakan pendapat harus dijamin. Namun karena unsur kelemahan kemakhlukannya itu, setiap orang dituntut cukup merasa rendah hati agar melihat kemungkinan dirinya salah dan bersedia mendengarkan dan memperhatikan pendapat orang lain. Interaksi positif dalam semangat optimisme kemanusiaan antara hak diri pribadi untuk menyatakan pendapat hati mendengarkan pendapat orang lain itu melahirkan ajaran dasar musyawarah.
Pada dasarnya, prinsip musyawarah tidak akan berjalan produktif, ada kebebasan menyatakan pendapat, yang dalam tatanan modern kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilembagakan antara lain dalam kebebasan akdemik dan kebebasan pers, tetapi prinsip musyawarah itu juga akan dirusak oleh sikap-sikap absolutistik dan keinginan mendominasi wacana karena tidak ada perasaan cukup rendah hati untuk melihat kemungkinan orang lain berada di pihak yang lebih baik atau lebih benar.
Musyawarah yang benar adalah musyawarah yang terjadi atas dasar kebebasan dan tanggung jawab kemanusiaan: dasar tatanan masyarakat dan negara demokratis. Jadi, demokratis, sebagaimana dikehendaki logika musyawarah itu, yang senantiasa menuntut dari setiap pihak yang bersangkutan untuk bersedia secara tulus bertemu dalam titik kesamaan kebaikan bagi semua, dalam semangat memberi dan mengambil yang dijiwai oleh pandangan kemanusiaan yang optimistis dan positif. Karena itu pula, demokratis dengan musyawarah yang benar sebagai landasannya itu tidak akan terwujud tanpa pandangan persamaan manusia atau egalitarianisme yang kuat dan akan kandas oleh stratifikasi sosial yang kaku dan apriori dalam sistem-sistem paternalistis dan feodalistis.

Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu ideologi yang mencipta dan mempertahankan kedaulatan sesebuah negara (dalam bahasa Inggeris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identiti bersama untuk sekumpulan manusia.
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kesahihan politik" (political legitimacy). Ianya berpunca dari teori romantisme iaitu "identiti budaya", hujah liberalisme yang menganggap kesahihan politik adalah berpunca dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua-dua teori.
Dalam zaman moden ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketenteraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperi yang dinyatakan di bawah. Para saintis politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrim seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.
Beberapa bentuk nasionalisme
Nasionalisme boleh menonjolkan dirinya sebagai sebahagian ideologi negara atau gerakan (bukan negara) yang popular berdasarkan pendapat sivik, etnik, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya saling kait-mengait dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau kesemua elemen tersebut.
Nasionalisme sivik (atau nasionalisme sivil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi kesahihan politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula dibangunkan oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku bertajuk On the Social Contract (atau dalam Bahasa Melayu "Mengenai Kontrak Sosial").
Nasionalisme etnik adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi kesahihan politik dari budaya asal atau etnik sesebuah masyarakat. Ianya dibangunkan oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa German untuk "rakyat").
Nasionalisme romantik (juga dipanggil nasionalisme organik, nasionalisme identiti) adalah lanjutan dari nasionalisme etnik dimana negara memperolehi kesahihan politik secara semulajadi ("organik") hasil daripada bangsa atau ras; menurut semangat Romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada kewujudan budaya etnik yang menepati idealisme Romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Brothers Grimm" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnik Jerman.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi kesahihan politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Cina yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan dimana golongan Manchu serta ras-ras minoriti lain masih dianggap sebagai rakyat negara Cina. Kesediaan dinasti Quing untuk menggunapakai adat istiadat Cina membuktikan keutuhan budaya Cina. Malah ramai rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Cina sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak China kerana kerajaannya berfahaman komunisme.
Nasionalisme kenegerian ialah variasi kepada nasionalisme sivik, selalunya digabungkan dengan nasionalisme etnik. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehinggakan ia diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalunya kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokratik. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu hujah yang ulung, seolah-olah ia membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporari, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Sepanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitari dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgium, yang secara ganasnya menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih autonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Corsican. Secara sistematik, bila mana nasionalisme kenegerian itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdish, pembangkangan di antara kerajaan pusat yang kuat di Sepanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan dan Corsican.
Nasionalisme keagamaan ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi "political legitimacy" dari persamaan agama. Zionisme di Israel adalah satu contoh yang baik. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnik adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Ireland semangat nasionalisme adalah berpunca dari persamaan agama mereka iaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut parti BJP adalah berpunca dari agama Hindu.
Namun demikian, bagi kebanyakan kumpulan nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kumpulan tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme kaum Irish dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Ireland bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan ideologi yang bersangkut paut dengan Ireland sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Ireland. Justeru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.
Disebaliknya Islam menentang Nasionalisme, Tribalisme (Perbezaan kaum), Rasisme, atau sebarang bentuk diskriminasi manusia yang tidak berdasarkan kepada kepercayaan seseorang itu. Islam menggalakan keharmonian masyarakat Islam atau ummah. Penduduk Islam diseluruh dunia tidak kira bangsa, warna dan keturunan bersolat dikiblat yang sama, berpuasa pada bulan Ramadan yang sama serta menunaikan haji di Kaabah yang sama. Malah sewaktu menunaikan haji atau umrah, semua orang wajib memakai kain ihram putih yang sama. Perkataan ummah selalu disalah terjemahkan kedalam bahasa Inggeris sebagai negara (nation) (berlainan dengan gerakan "Nation of Islam" dan ini bertentangan dengan ajaran Islam dan ditolak olek kebanyakan orang Islam.

Merebut Ideologi Pancasila dari Monopoli Penguasa

JAKARTA-Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila harus terus dimaknai secara terbuka dan dinamis, berkembang sesuai dengan konteks kehidupan modern yang penuh dengan tantangan. Sebagai ideologi, Pancasila merupakan konsep yang final dan mapan bagi bangsa kepulauan dengan masyarakat semajemuk Indonesia. Namun, pemaknaan atas Pancasila tentu belum final. Pemaknaan Pancasila terus disesuaikan dengan konteks, berkembang seiring dengan gerak demokrasi yang ada di Indonesia. Setiap generasi dan kelompok masyarakat Indonesia dimungkinkan untuk memberikan makna yang berbeda dan mewujudkannya dalam keragaman yang akseleratif. Seperti pencarian akan kebenaran yang tak pernah berhenti, Pancasila adalah gagasan ideal yang harus didekati secara terus-menerus. Ia harus terus diisi dengan memakai metode trial and error dalam setiap kontekstualisasinya.
Kebenaran kontekstulisasi hari ini belum tentu masih berlaku esok. Prinsip falsifikasi dapat kita terapkan dalam pemaknaan Pancasila, yakni dengan menemukan kelemahan untuk mendapatkan keunggulannya. Berhadapan dengan globalisasi dan munculnya budaya global seperti konsumerisme, hedonisme, atau budaya instan lainnya, peran pemaknaan kembali Pancasila menjadi demikian mendasar. Tentu, kita tidak bermaksud berhadap-hadapan dalam arti clash of civilization atas pola hidup modern. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah bagaimana memoderasi nilai-nilai Pancasila agar tetap mendapat tempat di tengah kehidupan masyarakat modern.
Kepentingan nasional setiap negara anggota tak dapat diabaikan begitu saja. Malah gerakan anti-Uni Eropa dari tahun ke tahun terus meningkat. Artinya, kita tak dapat masuk dalam sebuah perkumpulan tanpa kepentingan masing-masing. Kita juga tidak dapat menolak begitu saja budaya global yang serba-instan tanpa memiliki pola budaya yang menjadi identitas kita sendiri.
Identitas merupakan ukuran penilaian yang dapat kita gunakan berhadapan dengan dunia di luar kita. Identitas dalam bentuk ideologi dan semangat nasionalisme merupakan perjuangan dan diraih dengan perjuangan pula. Perjuangan merebut kemerdekaan oleh pendiri bangsa Indonesia tidak lepas dari usaha menemukan identitas bangsa Indonesia. Identitas itu menyatu dalam konsep Pancasila yang lalu menjadi ideologi negara. Sayang dan rasanya tak beradab kalau darah dan nyawa pahlawan bangsa untuk menemukan identitas itu tak dimaknai oleh generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Tidak ada perang dalam sejarah umat manusia yang lebih ganas dari pada perang menemukan identitas bangsa. Dua perang dunia hingga pertengahan abad 20 antarkelompok manusia justru dipacu oleh konsep nasionalisme sebuah bangsa dengan ideologi berbeda.
Penemuan Terbesar
Sekalipun kristalisasi Pancasila dalam wujud teks yang kita inderai sekarang baru muncul setelah kemerdekaan, sebetulnya dari awal dialah yang menjadi pemacu semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Lima sila tersebut menjadi asal-usul keluar dari kungkungan kolonialisme bangsa Eropa selama ratusan tahun.
Tidak ada penemuan bangsa Indonesia yang lebih besar saat ini selain Pancasila. Pancasila adalah penemuan idelogi bangsa paling tangguh di zaman modern dengan tingkat heterogenitas penduduk yang sangat tinggi. Persoalannya, mampukah generasi penerusnya untuk mempertahankan? Namun, harus diingat, ideologi dan semangat nasionalisme sebuah bangsa juga selalu bersifat paradoksal. Tidak sekadar sebagai sebuah pegas yang menendang ke kiri dan kanan tetapi tetap akan kembali ke titik keseimbangan.
Di satu sisi, keduanya bisa memberikan semangat pembebasan, tetapi pada sisi lain dia dapat menghasilkan efek kekerasan yang luar biasa jika tidak ada pengelolaan yang lebih baik. Pancasila tak punya rupa yang dapat disapa, tetapi hanya dirasakan oleh sebuah pengelolaan negara yang adil dan merata, sejehtera, dan berimbang.
Ideologi sebuah bangsa akan bergerak liar manakala perbedaan pemaknaan serta kontekstualisasi tak terakomodasi dengan baik. Ideologi selalu bergerak secara terbuka sesuai konteks tantangan yang dihadapi. Tidak ada pemaknaan yang tetap dan tak berubah. “Make it and test it in a fact!”
Pengeolaan perbedaan seperti itulah yang saat ini menjadi tantangan ideologi bangsa kita. Bagaimana perbedaan dikelola menjadi keunggulan, tidak hanya dalam kata tetapi juga dalam laku sehari-hari. Pemaknaan ideologi Pancasila pada prinsipnya sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah mendengar aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, bagaimana negara menciptakan kondisi atau prasyarat yang baik agar warga bisa hidup aman, makmur, adil, dan sejahtera. Ideologi Pancasila adalah sesuatu yang harus selalu direbut oleh rakyat Indonesia dari penguasa. Artinya, bagaimana upaya agar ideologi dan semangat nasionalisme tidak hanya menjadi hak penguasa, tetapi milik bersama masyarakat.

Memperkuat Profesionalisme Kepemimpinan Pemuda

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda selalu menempati peran yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemuda menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Jepang ketika itu. Peran tersebut juga ttap disandang oleh pemuda Indonesia hingga kini; selain sebagai pengontrol independen terhadap segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan penguasa, pemuda Indonesia juga secara aktif melakukan kritik, hingga mengganti pemerintahan apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berpihak ke masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada kasus jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh gerakan pemuda, yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa dan pemuda tahun 1966. hal yang sama juga dilakukan oleh pemuda dalam menumbangkan pemerintahan Soeharto 32 tahun kemudian. Peran yang disandang pemuda Indonesia sebagai agen perubahan (Agent of Change) dan agen kontrol social (Agent of Social Control) hingga saat ini masih sangat efektif dalam memposisikan peran pemuda Indonesia. Sebab, sebagai sebuah negara dengan wilayah yang besar dan pendidikan politik masyarakatnya yang relatif rendah, setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia akan cenderung melakukan penyimpangan dalam setiap kebijakannya. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat sebagai stakeholder Republik Indonesia secara politis belum cukup aktif dalam mengupayakan pengkontrolan terhadap kebijakan dan prilaku politik penguasanya, sehingga peran pemuda dalam hal ini menjadi sangat penting dalam menstimulus partisipasi politik rakyat dalam upaya mengontrol setiap kebijakan yang dibuat penguasa.
Pasca Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto tumbang, peran dan tanggung jawab pemuda Indonesia jauh lebih kompleks. Karena transisi demokrasi menjadi salah satu agenda yang penting untuk dikawal. Sebagai negara yang tengah menjalani peralihan dari negara otoriter-militeristik ke negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia sangat rawan dengan konflik. Konflik yang paling kentara adalah konflik horizontal, konflik antara masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Selama kurun waktu dari 1998 hingg 2001, konflik horizontal menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia, dan tentu saja pemuda Indonesia menuntut untuk segera dicarikan solusinya. Konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, Ambon, Maluku, di Kalimantan Barat dan Tengah, serta pergolakan daerah untuk menuntut pemerintahan sendiri seperti yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), dipicu oleh ketidaksiapan elit politik yang dulu mendukung pemerintahan Orde Baru dalam pengembangan sistem demokrasi yang menjadi pilihan rakyat Indonesia setelah 32 tahun lebih berada dibawah bayang-bayang pemerintahan otoriter yang menindas.
Makalah ini akan menguraikan perihal peran dan tanggung jawab pemuda Indonesia dalam komitmennya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta sikap, komitmen, dan keberpihakan pemuda Indonesia kepada masyarakat. Dalam makalah ini juga akan membahas periodisasi kepemimpinan pemuda Indonesia dari masa pergerakan nasional hingga sekarang, serta permasalahan yang dihadapi dan jalan keluar yang dilakukan sebagai upaya untuk memperkuat jati diri dan profesionalisme kepemimpinan pemuda Indonesia di masa yang akan datang.
Periodisasi Kepemimpinan Pemuda di Indonesia
Benedict Anderson, seorang Indonesianist mengungkapkan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Pernyataan Ben Anderson ini tak salah memang apabila dikaitkan dengan sejarah panjang bangsa Indonesia, di mana pemuda menjadi aktor dari setiap langkah perjalanan bangsa Indonesia. Pernyataan Ben Anderson ini tak salah memang apabila dikaitkan dengan sejarah panjang bangsa Indonesia, di mana pemuda menjadi aktor utama dari setiap peristiwa penting yang terjadi di Indonesia. Herbert Feith, Seorang Indonesianist lainnya menyatakan bahwa: Pemikiran politik modern (pemuda) di Indonesia diawali oleh bangkitnya nasionalisme modern. Hal itu dimulai antara tahun 1900-an dan 1910-an, dengan munculnya sekelompok kecil mahasiswa dan cendikiawan muda yang memandang dunia modern sebagai tantangan terhadap masyarakat dan menganggap diri mereka sebagai pemimpin potensial di masa yang akan datang…, Dalam tahun-tahun 1920-an jumlah mereka (pemuda-pen) meningkat agak pesat, begitu pula alienasi mereka terhadap kekuasaan koonial; banyak di antara mereka , khususnya yang menuntut ilmu di luar negeri, dipengaruhi oleh pelbagai ideologi seperti sosialisme, komunisme, reformisme Islam, dan nasionalisme India, China, dan Jepang.
Apa yang dikemukakan oleh Ben Anderson dan Herbert Feith adalah sebuah keniscayaan sejarah, mengingat sejak jaman pergerakan nasional hingga saat ini, pemuda selalu menjadi tonggak dan aktor dari pendorong perubahan tersebut. hal ini terlihat dari uraian periodisasi di bawah ini.
a. Pergerakan Nasional
Seperti yang dikatakan oleh Feith, bahwa benih-benih nasionalisme tumbuh seiring dengan dibuatkannya kebijakan-kebijakan politik etis yang merupakan bentuk dari politik balas budi pemerintahan kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia ketika itu. Akibat dari kebijakan tersebut maka benih nasionalisme yang tumbuh karena interaksi dengan dunia luar serta pembelajaran yang dilakukan oleh segenap pemuda ketika itu. Soetomo, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, dan lain-lain menjadi bagan yang tak terpisahkan dari upaya rakyat Indonesia ketika itu untuk lepas dari belenggu penjajahan. Soetomo kemudian mendirikan Budi Utomo, sebuah organisasi dengan corak modern didirikan sebagai upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakat di pedalaman Jawa. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan yang sangat jelas; mencapai Indonesia Merdeka, sementara Sjahrir dan Hatta melanjutkan perjuangan PNI setelah Soekarno masuk ke tahanan pemerintah kolonial. Sedangkan Natsir bersma-sama tokoh pergerakan nasional yang berbasis Islam lainnya bersatu dan mendorong munculnya organisasi-organisasi Islam yang bertujuan untuk kesejahteraan umat. Dari Sarekat Islam (SI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah, Perti, dan lain-lain yang di masa penjajahan Jepang bersama-sama mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kelak akan menjadi partai Islam terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia, karena merupakan representasi politik dari organisasi Islam di Indonesia.
Ketiga, kepemimpinan kaum muda era pergerakan nasional juga lebih banyak menampilkan watak radikalisme dari pada sikap kooperatif. Hal ini ditandai dengan ditangkapnya beberapa tokoh pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Keempat, kepemimpinan kaum muda jaman pergerakan nasional juga selalu menampilkan wajah kooperatif dengan pelbagai perbedaan ideology, apabila memiliki tujuan yang sama; kemerdekaan Indonesia. Sikap kooperatif terhadap organisasi yang berbeda ideologi ini merupakan bentuk dari penggalangan kekuatan untuk kemerdekaan Indonesia. Dan yang kelima, kepemimpinan kaum muda jaman pergerakan nasional juga selalu memiliki cetak biru (blue print) Indonesia masa depan. Terlepas apakah cetak biru tentang Indonesia yang dicita-citakan berlandaskan kepada keyakinan ideologi yang dianutnya.
b. Revolusi Kemerdekaan
Kedatangan Jepang ke Indonesia memecah sebagian besar kaum muda Indonesia ketika itu, sebab sebagian besar pemuda di masa itu sangat percaya bahwa Jepang merupakan pahlawan yang akan membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisme Belanda. Ada tiga kelompok pemuda setelah Jepang menjajah Indonesia. Pertama, kelompok pemuda yang percaya dengan ramalan Jayabaya, seorang raja Jawa kuno yang meramalkan akan datang ras- kuning yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan kulit putih. Kelompok pemuda ini banyak yang bekerja dan menjadi pegawai di perusahaan dan jawatan yang dikuasai oleh Jepang seperti radio, kantor berita, dan lain-lain. Tokoh-tokoh pemuda yang terkemuka dari kelompok pemuda ini adalah: Adam Malik (pernah menjadi menteri luar negeri dan wakil presiden RI), Soekarni, A.M. Hanafi, Sayuti Melik, Chaerul Saleh, dan sebagainya.
Kedua, kelompok pemuda yang memilih tidak bekerja sama dengan Jepang, maupun pemerintahan Belanda di pengasingan. Kelompok pemuda ini banyak berasal dari mahasiswa kedokteran masa itu, kelompok ini juga banyak melakukan kerja-kerja bawah tanah bersama Sjahrir. Tokoh-tokoh pemuda terkemuka dari kelompok pemuda ini antara lain; Subadio Sastrosutomo, Daud Jusuf, Sumitro Joyohadikusumo, dan lain-lain. Ketiga, kelompok pemuda yang memilih menjalin hubungan dengan pemerintah Belanda di pengasingan, dan melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Kelompok ini juga disubsidi oleh pemerintah Belanda di pengasingan. Tokoh pemuda yang terkenal dari kelompok ini adalah Amir Sjarifuddin dan kelompok pemuda komunis binaannya.
c. Masa Pemerintahan Soekarno
Karakteristik dari kepemimpinan pemuda Indonesia masa Pemerintahan Soekarno adalah menginduk kepada partai-partai politik yang tumbuh subur ketika itu. Banyak dari pemuda ketika itu percaya bahwa dengan menginduk ke partai politik tertentu maka upaya untuk membangun basis kepemimpinan pemuda saat itu akan dengan sendirinya berjalan. Hampir semua partai besar seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Komunis Indonesia (PKI), hingga partai-partai kecil memiliki organ kepemudaan yang berafiliasi ke partai bersangkutan. Namun langkah tersebut dirasakan oleh para pemuda kurang strategis, ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin, dimana figur Soekarno menjadi simbol tunggal negara. Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemuda ketika itu adalah melakukan pengkritisan terhadap setiap kebijakan yang dibuat oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya. Akan tetapi, sebagaimana diketahui bersama bahwa langkah melakukan pengkritisan terhadap kebijakan yang dibuat oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya berujung pada konflik pemuda ketika itu, sebagian memilih berada di samping Soekarno, sebagian lain memilih berhadap-hadapan dengan Soekarno. Konflik antar organisasi pemudapun pecah, bahkan telah mengarah kepada kriminalisme. Upaya untuk saling menjelek-jelekkan antar organisasi terjadi secara sistematis. Pemuda Rakyat, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Barisan Pendukung Soekarno (BPS), berlawanan dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta organisasi pemuda partai yang tidak mendukung kepemimpinan Soekarno seperti Pemuda Perti, Pemuda Persis, Pemuda Katolik, Pemuda Kristen, dan lain sebagainya.
Situasi ini berakhir dengan tumbangnya Pemerintahan Soekarno oleh kekuatan unjuk rasa pemuda dan mahasiswa, serta tekanan militer. Perlu diketahui juga bahwa kelompok pemuda yang anti-Soekarno mendapat dukungan dari militer yang memang sejak lama tidak menyukai kebijakan Soekarno yang condong dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dimana Soekarno juga menolak pembubaran PKI pasca pemberontakan 30 September 1965 yang memakan korban sejumlah Jenderal dari kalangan militer.
d. Masa Pemerintahan Soeharto
Dapat dikatakan bahwa masa Pemerintahan Soeharto, kaum muda mengalami bulan madu politik yang singkat. Perbedaan ideologi di tubuh organisasi pemuda yang selama Pemerintahan Soekarno dibiarkan tumbuh seirama dengan perkembangan bangsa, mulai dibatasi. Hal ini memang terkait dengan adanya penyederhanaan partai yang dilakukan oleh Pemerintah Soeharto. Pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai organisasi payung bagi organisasi kepemudaan yang ada menjadi salah satu bentuk pengekangan dan pembatasan hak-hak politik pemuda dan organisasi lainnya. Salah satu yang paling kentara adalah adanya konflik internal di masing-masing organisasi pemuda, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terbelah menjadi dua organisasi, yakni HMI yang setuju dengan ideologi Pancasila yang dipaksakan oleh Pemerintah Soeharto, dengan HMI Majelis Penyalamatan Organisasi (HMI-MPO) yang masih mempertahankan Islam sebagai asas organisasi. Organisasi lain yang juga mengalami perpecahan adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang pro kepada keputusan Pemerintahan Soeharto dengan yang menolak keputusan tersebut. Organisasi-organisasi pemuda yang menolak kebijakan Soeharto, kemudian dicap sebagai organisasi pemuda yang tidak bersih dan bukan tidak mungkin diberi cap komunis.
Keputusan untuk me-nonideologi-kan senua organisasi pemuda ini kemudian menghasilkan perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintahan Soeharto kala itu.. Ada tiga karakteristik organisasi pemuda pasca pembentukan KNPI. Pertama, organisasi pemuda yang menerima kebijakan yang dibuat dalam menyatukan ideologi, yakni ideologi Pancasila terhadap semua organisasi kepemudaan. Organisasi tersebut antara lain: HMI, GMNI, PMII, PMKRI, GMKI, dan berbagai organisasi pemuda yang loyal terhadap kebijakan pemerintahan. Kedua, organisasi pemuda yang berbasis di kampus. Organisasi pemuda ini mampu bersembunyi dibalik organisasi kemahasiswaan yang formal. Organisasi kampus ini justru dalam kurun waktu 32 tahun Pemerintahan Soeharto banyak melakukan perlawanan dan penolakan terhadap setiap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintahan Orde Baru tersebut. Tercatat berbagai peristiwa politik yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan oposisi terhadap kebijakan yang dibuat oleh Soeharto, seperti: Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) 1974 yang menyebabkan kerusuhan dan sentimen anti produk Jepang. Peristiwa tahun 1978, yakni serbuan aparat militer dan kepolisian terhadap kampus-kampus di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan sebagainya. Serta yang terakhir, ketika ribuan massa dari berbagai kampus menduduki gedung DPR/MPR serta simbol kenegaraan lainnya di berbagai kota, yang mengakibatkan Presiden Soeharto, yang berkuasa lebih dari 32 tahun itu mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.
e. Masa Kepemimpinan Orde Reformasi
Tumbangnya kekuasaan Presiden Suharto pada tahun 1998, merupakan satu titik balik proses keterbukaan politik di Indonesia. Presiden Habibie yang melanjutkan kepemimpinan mantan Presiden Suharto hingga Pemilihan Umum tahun 1999 melakukan satu perubahan drastis dalam sistem politik di Indonesia. Pemilihan Umum di tahun 1999 melahirkan pemimpin-pemimpin politik baru dalam tubuh Parlemen dan sistem kepartaian di Indonesia, dan melahirkan Presiden baru dari kalangan tokoh Islam yakni Abdurrahman Wahid.
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid sendiri tidak bertahan lama. Euphoria reformasi yang diikuti oleh konflik politik antara Parlemen dengan Eksekutif melahirkan proses impeachment terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Ia kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Republik Indonesia yang berasal dari kalangan nasionalis.
Pada era reformasi ini, kehidupan berorganisasi dibebaskan oleh pemerintah. Lembaga SIUPP yang selama ini menjadi alat kontrol bagi media massa di Indonesia dihapus oleh pemerintah, dwifungsi ABRI yang selama ini menjadi legitimasi bagi faksi tentara untuk berpolitik juga dihapuskan, Partai-partai politik dibebaskan untuk memilih ideologi kepartaiannya, dan dibangunnya sistem pemerintahan desentralisasi yang membuka akses politik masyarakat jauh lebih besar untuk terlibat dan mengawasi kinerja pemerintahan di daerahnya.
Reformasi ini juga menyentuh beragam kelompok kepemudaan yang menyadari perlunya perubahan sistem organisasi mereka. Organisasi-organisasi kepemudaan yang selama ini berada dibawah payung KNPI mulai memisahkan diri dan menjalankan gerak organisasinya sesuai dengan ideologi yang diinginkan. HMI kembali menggunakan Islam sebagai azas organisasi, GMNI kembali menggunakan azas nasionalisme-marhaen, dan lain sebagainya. Beberapa organisasi kepemudaan tetap mempertahankan ideologi Pancasila, akan tetapi aura perubahan keras kali ini menghadapkan organ-organ ini pada kondisi sosial politik riil yang juga dihadapi oleh beragam kelompok di masyarakat.
Hiruk pikuk dunia politik yang baru menikmati kebebasannya di Indonesia tidak serta merta memberikan suatu perbaikan sistem pemerintahan yang bersih dan berpihak kepada perubahan yang didesakkan pada tahun 1998. Pertarungan politik antara Pimpinan Legislatif dengan Eksekutif yang telah menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid dari kursi kekuasaannya di tahun 2001 menunjukkan bahwa para pemimpin Order Reformasi ini tidak memiliki satu kedewasaan politik dalam melakukan perubahan politik di Indonesia.
Partai-partai politik dengan beragam ideologinya sepanjang lima tahun terakhir ini harus diakui telah gagal memberikan satu contoh bahwa perbedaan ideologi dapat mendewasakan pola berpikir para pemimpin bangsa. Pertikaian politik berkepanjangan yang mengesampingkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, merupakan satu agenda utama yang kini menjadi dasar bergeraknya beragam organisasi pemuda di Indonesia saat ini. Mereka melancarkan kecaman dan kritik untuk memperingatkan para pemimpin Indonesia, bahwa ada hal utama yang telah terlupakan akibat perilaku politik mereka.
Disamping itu, kiprah pemuda dalam era reformasi ini juga ditekankan pada pengawalan proses perubahan sistem politik Indonesia agar tidak jatuh kembali ke dalam rejim otoriter. Pemuda Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan membangun kedewasaan berpolitik masyarakat agar mereka dapat bertindak sebagai pengawas dan pengontrol kebijakan pemerintah. Pemuda tidak dapat bergerak sendirian mengawal perubahan politik di Indonesia karena mereka nantinya dapat terjerumus ke dalam jebakan politik. Dalam sistem politik liberal multipartai di Indonesia saat ini, tidak dikenal istilah kawan atau lawan politik abadi. Elite politik di Indonesia memiliki kecenderungan untuk berusaha memenuhi kepentingan politik pribadi dan kelompoknya.
Permasalahan Yang Dihadapi oleh Organisasi Pemuda
Lahirnya organisasi-organisasi pemuda dengan beragam ideologi, sangat dipengaruhi oleh euphoria kebebasan yang lahir sejak tahun 1998. Akan tetapi, euphoria kebebasan berorganisasi dengan menerapkan kebebasan menganut ideologi ini justru memunculkan tantangan-tantangan baru bagi organisasi kepemudaan tersebut. Tantangan pertama adalah lahirnya beragam organisasi kepemudaan yang kemudian menyurutkan nama besar organisasi kepemudaan yang dulu diperhitungkan dalam kancah politik di Indonesia. Organisasi-organisasi yang dulu merupakan onderbow partai seperti GMNI, GMKI, PMKRI, dan yang lainnya kini harus berhadapan dengan organ-organ onderbouw partai baru atau organ kepemudaan lain dalam sistem politik multipartai. Sebagai satu contoh, Banteng Muda Indonesia sebagai organ simpatisan dari PDI-P, kini memberikan satu tantangan serius bagi sejumlah organ kepemudaan lain yang memiliki ideologi nasionalisme-marhaenn seperti GMNI, atau ke organ kepemudaan lain yang berideologi Pancasila seperti GMKI, FKPPI, dan lainnya. Keberadaan HMI sebagai organisasi kepemudaan dengan ideologi Islam kini juga memperoleh satu tantangan serius dari beberapa organisasi kepemudaan yang memiliki ideologi sama seperti KAMMI, Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Pemuda Muhammadiyah, dan lainnya. Organisasi kepemudaan dengan warna ideologi marxisme kini juga saling berkompetisi di Indonesia. Ini terbukti dengan adanya Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) yang berazaskan marxis atau Pergerakan Indonesia (PI) yang menggunakan azas Sosial Demokrat.
Lahirnya organ-organ kepemudaan ini menjadi satu indikator kebebasan berserikat dan berorganisasi yang diatur penuh oleh Negara, namun di sisi lain memunculkan kembali permasalahan klasik organisasi kepemudaan. Masalah tersebut adalah tantangan kedua yang harus dihadapi organisasi kepemudaan saat ini, yakni ideologisasi kader organisasi yang tidak tuntas. Salah satu kunci kemajuan organisasi disamping loyalitas kader tentunya adalah kemajuan dari kader itu sendiri. Kultur senioritas keanggotaan, patronase, dan sistem kepemimpinan sentralistik pada akhirnya melahirkan bias ideologi dan kepemimpinan dalam organisasi kepemudaan. Analisa penulis mengenai hal ini kedepannya adalah bahwa kebutuhan akan ideologi dalam organisasi kepemudaan hanya menjadi sebuah gaya hidup dan kebanggan semu tokoh pemuda yang dipatronkan, dibandingkan sebagai sebuah kebutuhan sosial politik organisasi.
Tantangan ketiga adalah bagaimana mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan dan perubahan global. Dunia saat ini mengenal pasar sebagai ideologi sistem ekonomi dunia. Apabila tidak dapat bergerak sesuai dengan keinginan pasar, maka dapat dipastikan akan terhempas dari sistem ekonomi dunia. Tantangan seperti inilah yang belum menjadi isu strategis bagi organisasi-organisasi kepemudaan di tingkat nasional. Tantangan pasar global ini harus dicari solusi dan metodenya oleh organisasi kepemudaan agar generasi muda kedepannya dapat menghadapi tantangan tersebut dan tidak terhempas oleh persaingan pasar. Ideologi pasar dari sistem ekonomi dunia secara perlahan juga mempengaruhi sistem politik sebuah negara. Indonesia telah memperoleh pelajaran yang cukup baik sepanjang keterikatannya dengan IMF selama puluhan tahun. Pelajaran berharga seperti inilah yang seharusnya dapat mengembangkan pemikiran dan profesionalisme generasi muda dan organisasi kepemudaan.
Tantangan keempat adalah lambatnya regenerasi akibat pola patronase dan senioritas dalam organisasi kepemudaan. Patronase dan senioritas pada akhirnya membuahkan sikap introvert dan minder dari generasi yang jauh lebih muda karena mereka tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan kemampuan mereka. Disamping itu, sikap patronase akan melahirkan bias mengenai pemahaman tentang demokrasi. Bagaimana mungkin memperjuangkan demokrasi jika mereka tidak menemukan ruang demokrasi dalam organisasi mereka?
Mengutip tulisan Soe Hok Gie, seorang tokoh pemuda Indonesia tahun 1960-an yang banyak terlibat aktif dalam aksi-aksi mahasiswa menjatuhkan Presiden Soekrano, mahasiswa Indonesia berperan ibaratnya seorang resi (guru agama yang ahli bela diri—pen) atau seorang sheriff yang turun ke kota menyelamatkan rakyatnya ketika bandit-bandit datang dan mengancam keselamatan kota. Setelah bandit-bandit tersebut tewas atau melarikan diri, maka resi atau sheriff pergi meninggalkan kota tersebut dan kembali ke tempat tinggalnya. (Soe Hok Gie: Catatan Harian Seorang Demonstran. 1967:…..).
Penulis menganalisa bahwa pola pemikiran seperti ini masih dianut oleh sebagian besar pemuda dan mahasiswa Indonesia. Dunia kampus sangat terbuka bagi pemuda yang ingin mempelajari beragam ideologi, namun lembaga kemahasiswaan di kampus tidak dapat memenuhi gairah mereka sebagai satu wahana aktivitas yang ideologis. Mahasiswa dibatasi oleh status dan waktu studi yang tidak lama sedangkan ikatan ideologi tidak pernah lekang oleh waktu.
Tawaran Solusi
Soekarno, founding father Indonesia dan Presiden pertama Republik Indonesia pernah menyampaikan dalam sebuah pidatonya bahwa ia sanggup mengguncangkan dunia hanya dengan sepuluh pemuda yang hatinya berkobar. Tidak ada yang pernah meragukan Soekarno sebagai “juru bicara” negara-negara dunia ketiga di tengah ancaman perang dingin, dan tidak ada yang pernah meragukan kemampuannya untuk mengguncang dunia dengan kharisma dan kepemimpinannya menyatukan ratusan suku-bangsa yang ada di Indonesia. Ia memiliki keyakinan terhadap generasi muda Indonesia sebagai calon pemimpin dunia.
Akan tetapi mencetak generasi muda yang memiliki hati berkobar dan sanggup mengguncangkan dunia bukanlah pekerjaan mudah. Iklim sosial-politik yang kondusif bagi pemuda untuk berkiprah diperlukan agar regenerasi kepemimpinan dan sistem edukasi bagi generasi muda dapat berjalan secara berkelanjutan. Regenerasi kepemimpinan kaum muda dalam organisasi kepemudaan harus berpijak pada fair-competition. Kesempatan harus diberikan kepada generasi muda yang memiliki kemampuan dan kapabilitas dan tidak berdasarkan senioritas.
Disamping itu, mereposisikan peran negara dalam kehidupan organisasi kepemudaan akan mendukung atau menghancurkan ruang hidup organisasi-organisasi tersebut. Selama lebih dari 30 tahun, negara mengendalikan kehidupan berorganisasi kaum muda sebelum jatuhnya Presiden Suharto dari kursi kekuasaannya. Organisasi kepemudaan sendiri, idealnya berada pada koridor netral terhadap semua kepentingan pemerintahan dan kelompok-kelompok politik. Ini akan berpengaruh pada pembangunan sikap kritis dan konstruktif terhadap Negara dan pemerintahan yang berkuasa.
Pemilihan keyakinan dan ideologi organisasi kepemudaan ada baiknya dibebaskan oleh negara dan diinisiasi oleh organisasi-organisasi kepemudaan di tingkat nasional. Negara tidak perlu campur tangan dalam urusan internal organisasi pemuda agar nuansa kehidupan organisasi kepemudaan menjadi lebih dinamis. Akan tetapi ada efek samping yang harus dihindari sedapat mungkin, yakni ideologi organisasi sebagai gaya hidup semata. Di Indonesia, dengan beragamnya idoelogi yang dianut oleh ratusan organisasi kepemudaan, maka efek samping ideologi sebagai gaya hidup semata juga muncul. Ada organisasi kepemudaan yang menggunakan Islam sebagai ideologi namun bercorak militeristik seperti Barisan Serba Guna Pemuda Ansor, atau organisasi kepemudaan nasionalis yang bercorak militeristik seperti FKPPI, Pemuda Panca Marga, dan lain sebagainya.
Titik tekan dibebaskannya pemilihan ideologi oleh organisasi adalah agar mereka dapat berhadapan langsung dengan tantangan dunia saat ini. Perancis dan Jerman sudah berhasil memodifikasi ideologi Sosialisme mereka agar dapat berhadapan dengan kapitalisme Amerika dan Inggris dalam persaingan pasar bebas. Bagaimana dengan Asia? Disinilah peran pemuda harus dioptimalkan untuk dapat berdialektika dengan beragam ideologi dunia dan mengembangkan sayap jaringan kepemudaan agar dapat memperoleh gambaran situasi global dan menentukan langkah kedepan organisasi kepemudaan.

NEGARA AKAN HANCUR TANPA IDEOLOGI

Dalam suasana peringatan hari lahirnya "Pancasila", marilah kita merenung dan berkaca pada diri sebagai bangsa, yang telah diwarisi oleh "Founding Father" suatu tatanan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pendahulu telah menempatkan Pancasila sebagai Ideologi negara Indonesia yang heterogin dari aspek, agama, suku, bahasa dan budaya. Pancasila merupakan alat pemersatu NKRI, karena dalam sila-sila mengalir filosofi yang sangat mendasar mengarahkan bangsa Indonesia pada suatu kehidupan yang utuh, Taat kepada Agama yang diyakini, toleransi, bersatu, saling menghormati, tolong menolong dan senasib sepenanggungan, menerapkan kesepakatan dalam dinamika negara demokrasi, adil, makmur, aman dan sejahtera. Menurut saya, Pancasila sebagai Ideologi negara merupakan hukum universal, juga sebagai Ideologi terbuka yang dinamis bukan statis. Pancasila, digali dari nilai nilai luhur bangsa Indonesia dari Sabang sampai merauke yang memberikan filosofi, suatu tatanan yang mendasar dalam "Pluralism -State", cara pandang dan Way of Life yang mengikat sebagai hukum dasar dalam sistem kenegaraan di Indonesia. Sebagai Ideologi terbuka, implementasi Pancasila tidak doktriner tetapi rasional. Disini ada penekanan bahwa; nilai-nilai instrintif dan filosofi Pancasila tidak boleh berubah serta mutlak, tidak bisa ditafsirkan lain-lain. Aspek moral, kejujuran dan kehormatan semua ada pada Pancasila dan semua itu harus tumbuh dalam hati nurani setiap bangsa Indonesia,yang menjadi state aktor maupun non state aktor. Para pendahulu, sangat jenius dalam merumuskan "Ideologi Negara", agar terwujud Nusantara bersatu, dalam wadah atau kerangka NKRI. Pancasila menjadi perekat ampuh bagi NKRI, tetapi juga menjadi "center of gravity", NKRI. Sehingga, kunci "Ketahanan Nasional" Indonesia adalah, pada Pancasila itu sendiri. Kebesaran Pancasila sebagai Ideologi negara harus tetap dipertahankan, dengan implementasi yang dinamis dan rasional. Penerapan Pancasila yang statis dan doktriner, akan mengikis rasa cinta dan bangga dengan Ideologi yang dimiliki. Penyalah gunaan nilai-nilai Pancasila dalam bentuk apapun , akan mengikis Pancasila sebagai Ideologi negara, akan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengancam keutuhan NKRI. Era global telah membuka dunia tanpa batas, masing-masing negara berlomba untuk mencapai "national interestnya". Negara kuat tidak segan segan menghancurkan negara lain untuk tujuan nasionalnya. Amerika invasi ke Irak untuk menguasai energi dan minyaknya. Pada masa lalu Irak sangat kuat karena "Leadership Saddam Hussein", oleh karenanya "Center of Gravity" Irak adalah, Saddam Hussein. Sehingga Strategi Militer Amerika agar bisa menang perang dan menguasai Irak " Rezim Saddam" harus dihancurkan. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

PANCASILA ADALAH IDEOLOGI NEGARA YANGG PALING TEPAT UNTUK BANGSA INDONESIA YANG HETEROGIN

Sekjen Dephan yang diwakili Mayor Jenderal TNI Sudradjat, MPA mengatakan, dalam perjalanan sejarah setelah kemerdekaan, Dasar Negara kita Pancasila telah mengalami berbagai macam cobaan. Hal ini terbukti dengan adanya keinginan suatu golongan untuk merubah atau mengganti Pancasila dengan Ideologi lain, baik melalui kegiatan fisik sebagaimana yang dilakukan oleh PKI dengan G.30 S nya, maupun kegiatan terselubung lainnya. Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, sampai saat ini kita masih mampu mempertahankannya, karena kita meyakini bahwa Pancasila adalah Ideologi Negara yang paling tepat untuk Bangsa Indonesia yang sangat heterogin.
Hal itu disampaikan dalam amanat tertulis yang dibacakan Kabadiklat Dephan Marsda TNI Dr. Ir. S. Suharsa, M. Eng, Sc. Selaku Irup pada Upacara Peringatan Mengenang Tragedi Nasional, akibat penghianatan terhadap Pancasila dan pelepasan personil Dephan yang memasuki Masa Purna Tugas, Rabu (1/10) di Lapangan Apel Dephan Jl. Merdeka Barat 13-14 Jakarta.i
Sekjen Dephan menjelaskan, dalam situasi nasional dengan berbagai permasalahannya, sampai saat ini ternyata masih belum ditemukan formula yang paling pas untuk mengatasinya dengan tepat dan cepat. Kondisi semacam itu dapat dimungkinkan antara lain karena masih maraknya pemaksaan kehendak untuk menonjolkan kepentingan sesaat oleh kelompok tertentu serta upaya pengkerdilan Ideologi dengan menjadikan sebagi slogan kosong.
Oleh karena itu pada tanggal 1 Oktober 203 seluruh Bangsa Indonesia memperingati tragedi nasional akibat penghianatan Pancasila dengan maksud dan tujuan antara lain untuk mawas diri, untuk membina dan menggugah kembali semangat dan tekad perjuangan dengan meresapkan kesadaran akan inti, hakekat dari kemurnian dan keluhuran Pancasila. ?Selain itu, juga untuk membulatkan tekad dalam meneruskan perjuangan, mengenal serta mengamalkan dan selalu tetap mempertahankan Pancasila sesuai dengan naluri amal Bhakti para Pahlawan Perjuangan Bangsa? Ujarnya.
Pada bagian lain Sekjen Dephan menyampaikan, pada rangkaian kegiatan Upacara Bendera kali ini juga dilepas 11 personil Dephan yang memasuki Masa Purna Tugas yang terdiri dari tiga orang Perwira Tinggi, tiga orang Perwira Menengah, satu orang Bintara, satu orang Tamtama dan tiga orang Pegawai Negeri Sipil.
Personil Dephan yang memasuki masa purna tugas tersebut masing-masing adalah Brigjen TNI O. Hakin Matius H, SE, Brigjen TNI Akan Maskan, Laksma TNI Ir. Suwito Tjokro, Letkol Inf Azhari Machmudin, Letkol Caj Kardi SM, Letkol Sus Noerry Putra Setiawan, SH, Timbul Tasirun Gol. IV/A, Euis Suprihati Gol. II/D, Pudjiman Gol. II/B, Serda Subarto dan Koptu Abdul Latief.
JADIKAN PANCASILA IDEOLOGI TERBUKA
Edi Sudrajat

Jakarta, Kompas - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Edi Sudrajat, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meminta agar Pancasila dijadikan sebagai ideologi terbuka. Pancasila harus terus-menerus dimaknai, diwacanakan, dan dijadikan bahan perdebatan publik dalam rangka mencari solusi atas masalah bangsa yang tidak kunjung dapat diatasi setelah delapan tahun reformasi.
”Tidak ada yang keliru dengan Pancasila. Yang keliru adalah pemahaman tunggal atasnya untuk mempertahankan kekuasaan seperti terjadi pada masa lalu,” ujar Edi, jenderal purnawirawan berbintang empat, dalam sambutan peringatan Hari Ulang Tahun Ke-7 PKPI di Jakarta, Minggu (15/1) malam.
”Saya prihatin, saat ini semua orang merasa malu berbicara Pancasila. Berbicara Pancasila dianggap kuno, tidak reformis, dan tidak memiliki cita-cita Indonesia baru. Saya kembali bertanya, Indonesia baru seperti apa yang dicita-citakan?” ujarnya.
Ia menengarai adanya kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang ingin merobohkan Pancasila dan menggantinya dengan ideologi lain.
Upaya sistematis kelompok kepentingan itu, menurut dia, tergambar jelas dalam amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Secara metodologis amandemen itu tidak sahih dan muatan-muatan dalam perubahan pasal-pasalnya cenderung berfalsafah lain dari jati diri bangsa Indonesia. ”Perubahan pada batang tubuh dapat saja terus merasuk ke perubahan Pembukaan UUD 1945 di mana Pancasila tertanam di dalamnya,” ujarnya.
Edi menyebut, kelompok kepentingan itu adalah liberalisme yang berkolaborasi dengan kepentingan negara-negara maju.
”Semangat kebebasan penting. Tetapi, manakala tanpa kendali moral dan etika serta hukum tidak ditegakkan, kebebasan akan menjadi benturan kepentingan dan pertarungan kelompok yang akan merusak tatanan berbangsa,” katanya.
Indonesia yang dituju
Dalam sambutannya, Presiden menyatakan, kebebasan diperlukan dalam kehidupan demokratis, tetapi harus bergandengan dengan tatanan hukum.
”Kita ingin demokrasi dan kebebasan makin mekar, tetapi tatanan dan ketertiban kehidupan politik terjamin. Keduanya adalah kebutuhan kembar kita agar pembangunan yang dirintis sejak Soekarno dapat terus dilanjutkan. Letakkan kebebasan dalam konteks yang utuh agar kehidupan harmonis,” ujarnya.
Presiden sepakat dengan Edi untuk menjadikan Pancasila, yang merupakan jati diri bangsa, sebagai ideologi terbuka. ”Bapak Edi Sudrajat dengan cerdas dan arif menanyakan kepada kita semua, Indonesia yang kita tuju itu Indonesia seperti apa? Indonesia yang kita tuju adalah sesuai dengan cita-cita kemerdekaan kita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,” katanya.
Indonesia di masa depan, lanjut Presiden, adalah Indonesia yang maju, modern, dan tidak tercabut dari jati dirinya.

PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT MASA DEPAN


PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang masa. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga Negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, dan toleran dengan mengutamakan persatuan dan bukannya perpecahan.
Pengembangan pendidikan dalam masyarakat yang sedang berubah dengan cepat haruslah di lakukan secara menyeluruh dengan pendekatan sistematik. Pendekatan sistemetis adalah pengembangan pendidikan dilakukan secara teratur melalui perencanaan yang bertahap, sedang sistematis menunjuk pada pendekatan sistem dalam proses berfikir yang mengaitkan secara fungsional semua aspek dalam pembauran pendidikan tersebut. (Depdikbud, 1991/1992 a:21).

BAB II
PERMASALAHAN

Pesatnya pertumbuhan pendidikan sejalan dengan berkembangnya arus teknologi.


BAB III
PEMBAHASAN

Perkembangan masyarakat berserta kebudyaannya sekarang ini makin mengalami percepatan serta meliputi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Percepatan perubahan itu terutama karena percepatan perkembangan IPTEK, utamanya teknologi informasi. Sejarah telah mencatat bahwa perubahan dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri relative lebih lama dibandingkan dengan perubahan masyarakat industri ke masyarakat informasi. Bahkan di berbagai Negara berkembang termasuk Indonesia, masih berada dalam masa transisi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri serta segera diiringi perubahan ke masyarakat informasi.
Pada masa sekarang mungkin pernggunaan teknologi canggih seperti internet sudah banyak digunakan, tetapi masih banyak juga sekolah-sekolah khususnya SD di pedesaan melakukan pengajaran dengan menggunakan sarana-sarana seperti kapur tulis, pensil, kertas, dan lain-lain. Hal tersebut hanya dapat menguji sebagian kecil kemampuan seseorang dalam setiap mata pelajaran. Jadi pemikiran siswa tidak dapat berkembang kecuali mungkin dalam bidang ilmu pasti (Matematika).
Tetapi dewasa ini, penggunaan teknologi canggih seperti internet telah mengalami pertumbuhan pesat, maka mau tidak mau harus diikuti secara intensive, kalau kita tidak ingin menjadi bangsa yang tertinggal, dan mungkin di masa yang akan datang kita bisa melakukan terobosan-terobosan baru di bidang pendidikan yang memajukan bangsa kita, terutama bagi pelajar yang akan menjadi penerus perjuangan bangsa Indonesia di masa datang .
Dengan teknologi, dengan sarana pendidikan yang lebih baik dan canggih diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang buta informasi dan buta teknologi dan siap untuk bersaing dengan Negara-negara lain.
Perkembangan IPTEK yang makin cepat dalam era globalisasi merupakan salah satu cirri utama dari masyarakat masa depan. Perkembangan IPTEK pada akhir abad ke-20 ini sangat mengesankan, utamanya dalam bidang-bidang transportasi, telekomunikasi, dan informatika, genetika, biologi, molekul serta bioteknologi dan sebagainya.


BAB IV
PENUTUP DAN KESIMPULAN


Pendidikan akan menyiapkan peserta didik memasuki masyarakat masa depan, maka keutusan dan tindakan dalam bidang pendidikan seharusnya berorientasi pada masyarakat masa depan tersebut.
Maka dapat disimpulkan bahwa, cirri masyarakat masa depan adalah antara lain :
1) Globalisasi (IPTEK, ekonomi, lingkungan, hidup, pendidikan)
2) Perkembangan IPTEK yang makin cepat
3) Arus komunikasi yang makin padat dan cepat, yang mengubah masyarakat menjadi masyarakat informasi.
4) Peningkatan layanan professional dalam berbagai segi kehidupan masa depan.
Dengan demikian, pendidikan diharapkan mampu menghasilkan manusia yang dapat menyesuaikan diri serta mampu mengembangkan masyarakat masa depan.

PUBERTAS KEDUA DAN EMOSI REMAJA

Istilah "puber" berasal dari kata "pubes" yang artinya rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan. Kondisi ini dialami oleh anak berusia belasan tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Puber kedua adalah kondisi dimana terdapat kesamaan perilaku seperti yang dialami anak-anak yang memasuki masa puber, seperti lebih memperhatikan penampilan, lebih memperhatikan lawan jenis, dan sebagainya.
Puber kedua dialami oleh pria maupun wanita yang memasuki usia 40 tahun ke atas. Gejala yang timbul pada pria saat memasuki puber kedua adalah :
· Enggan tampil tua. Mereka mulai memperhatikan penampilannya maupun keindahan tubuhnya. Rambutnya disemir ala anak muda, bergaya gaul, memodifikasi mobilnya menjadi ceper, dan sebagainya.
· Mereka juga mulai senang kembali berpetualang. Mulai dari dari naik motor jarak jauh, sampai keluar masuk diskotek.
· Produktivitas hidup meningkat. Banyak ditemui bahwa mereka semakin mahir bernegosiasi, semakin maju bisnisnya, maupun semakin memukau karirnya.
Sedangkan pada wanita, gejala yang muncul adalah :
· Terganggu atau berhentinya proses menstruasi (terjadi menopause). Hal ini terjadi karena gonadotrop tidak diproduksi lagi oleh kelenjar hypophysc. Efek yang terjadi adalah pusing, lesu, dan kurang bergairah. Akibatnya kestabilan emosi sering terganggu.
· Timbunan lemak menyusut sehingga kulit mulai keriput, bahkan buah dada mulai berubah bentuk. Rambutpun mulai memutih. Keadaan ini akan berpengaruh pada kejiwaannya. Apalagi jika suami memandang hal itu sebagai suatu kemunduran.
Setiap orang akan mengalami fase puber kedua ini. Karena itu perlu persiapan yang cukup matang untuk memasuki fase krisis ini. Di sinilah komitmen perkawinan kembali teruji. Komunikasi dan pengertian memegang peran yang sangat penting bagi pasangan yang mulai memasuki masa puber kedua ini. Kondisi yang berbeda antara suami dan istri sering kali memicu konflik di antara mereka berdua. Suami semakin bersemangat dalam banyak hal, sedangkan istri semakin lesu dan kurang bergairah. Bila terjadi komunikasi yang baik di antara pasangan yang memasuki masa ini, maka masalah krisis kedua ini akan dapat diselesaikan dengan baik.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk melewati masa puber kedua dengan baik adalah:
· Bertamasya berdua tanpa diganggu oleh kehadiran anak
· Memberikan kejutan seperti candle light dinner, membelikan barang yang sedang diinginkan pasangan, dan sebagainya
· Membuka kembali album foto kenangan bersama-sama
· Menonton bioskop berdua saja
· Dan sebagainya
Dengan demikian diharapkan pasangan yang memasuki masa puber kedua dapat melewatinya dengan baik dan memasuki usia senja dengan bahagia.
Kenakalan Remaja
Ada seorang Ibu yang tinggal di Jakarta bercerita bahwa sejak maraknya kasus tawuran pelajar di Jakarta, Beliau mengambil inisiatif untuk mengantar dan menjemput anaknya yang sudah SMU, sebuah kebiasaan yang belum pernah Beliau lakukan sebelumnya. Bagaimana tidak ngeri, kalau pelajar yang tidak ikut-ikutan-pun ikut diserang ?
Mengapa para pelajar itu begitu sering tawuran, seakan-akan mereka sudah tidak memiliki akal sehat, dan tidak bisa berpikir mana yang berguna dan mana yang tidak ? Mengapa pula para remaja banyak yang terlibat narkoba dan seks bebas ? Apa yang salah dari semua ini ?
Seperti yang sudah diulas dalam artikel lain di situs ini, remaja adalah mereka yang berusia antara 12 - 21 tahun. Remaja akan mengalami periode perkembangan fisik dan psikis sebagai berikut :
· Masa Pra-pubertas (12 - 13 tahun)
· Masa pubertas (14 - 16 tahun)
· Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
· Dan periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ-organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja. Di samping itu, perkembangan intelektualitas yang sangat pesat jga terjadi pada fase ini. Akibatnya, remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut.
Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara.
Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele, tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat. Orang tua tidak boleh berpikir, "Ya ampun... itu kan hal kecil. Masa kamu tidak bisa menyelesaikannya ? Bodoh sekali kamu !", dan sebagainya. Tetapi perhatian seolah-olah orang tua mengerti bahwa masalah itu berat sekali bagi remajanya, akan terekam dalam otak remaja itu bahwa orang tuanya adalah jalan keluar ang terbaik baginya. Ini akan mempermudah orang tua untuk mengarahkan perkembangan psikis anaknya.

Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini.
Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri.
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka. Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan psikologis belum tercapai sepenuhnya.
Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini.
Kenakalan remaja
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya. Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.
Pengaruh Musik pada Anak
Penelitian membuktikan bahwa musik, terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembangan IQ (Intelegent Quotien) dan EQ (Emotional Quotien). Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik. Yang dimaksud musik di sini adalah musik yang memiliki irama teratur dan nada-nada yang teratur, bukan nada-nada "miring". Tingkat kedisiplinan anak yang sering mendengarkan musik juga lebih baik dibanding dengan anak yang jarang mendengarkan musik.
Grace Sudargo, seorang musisi dan pendidik mengatakan, "Dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari ritme denyut nadi manusia sehingga ia berperan besar dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga manusia".
Penelitian menunjukkan, musik klasik yang mengandung komposisi nada berfluktuasi antara nada tinggi dan nada rendah akan merangsang kuadran C pada otak. Sampai usia 4 tahun, kuadran B dan C pada otak anak-anak akan berkembang hingga 80 % dengan musik.
Ibu Bekerja & Dampaknya bagi Perkembangan Anak
Salah satu dampak krisis moneter adalah bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah menambah penghasilan keluarga...akhirnya kalau biasanya hanya ayah yang bekerja sekarang ibupun ikut bekerja.
Ibu yang ikut bekerja mempunyai banyak pilihan. Ada ibu yang memilih bekerja di rumah dan ada ibu yang memilih bekerja di luar rumah. Jika ibu memilih bekerja di luar rumah maka ibu harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar, dan sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu maka orang tua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan menderita kerugian.
Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya, anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk itu ibu atau orang tua harus bijaksana dalam menitipkan anak sewaktu orang tua bekerja.
Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik.
Untuk itu maka ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.
Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumahpun tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana.
Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja tetapi ayah juga harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga dengan baik.
Mengenal & Membimbing Anak Hiperaktif
Apa sebenarnya yang disebut hiperaktif itu ? Gangguan hiperaktif sesungguhnya sudah dikenal sejak sekitar tahun 1900 di tengah dunia medis. Pada perkembangan selanjutnya mulai muncul istilah ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity disorder). Untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif, harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif.
Inatensi
Inatensi atau pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain.

Hiperaktif
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Impulsif
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif
· Problem di sekolah
Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa
· Problem di rumah
Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak.
· Problem berbicara
Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat.
· Problem fisik
Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif :
· Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas
· Kenali kelebihan dan bakat anak
· Membantu anak dalam bersosialisasi
· Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib), memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak
· Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya
· Menerima keterbatasan anak
· Membangkitkan rasa percaya diri anak
· Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya
Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya.
Mengenal Autisme
Autisme, adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Pada anak-anak biasa disebut dengan Autisme Infantil.
Schizophrenia merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri : berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri.
Tetapi ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari Autisme pada penderita Schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan.
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang Ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata.
Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2 penyandang autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal dan berprestasi. Di Amerika, di mana penyandang autisme ditangani secara lebih serius, persentase kesembuhan lebih besar.


Schizophrenia
Meskipun definisi yang pasti tentang Schizophrenia selalu menjadi perdebatan para ahli, terdapat indikasi yang semakin nyata bahwa Schizophrenia adalah sebuah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Dalam buku The Broken Brain : The Biological Revolution in Psychiatry yang ditulis oleh Dr. Nancy Andreasen, dikatakan bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan Schizophrenia merupakan suatu hal yang melibatkan banyak sekali faktor. Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik.
Di dalam otak terdapat milyaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang lain. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitters yang membawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak yang terserang schizophrenia, terdapat kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut.
Bagi keluarga dengan penderita Schizophrenia di dalamnya, akan mengerti dengan jelas apa yang dialami penderita schizophrenia dengan membandingkan otak dengan telepon. Pada orang yang normal, sistem switch pada otak bekerja dengan normal. Sinyal-sinyal persepsi yang datang dikirim kembali dengan sempurna tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan sesuai kebutuhan saat itu. Pada otak penderita schizophrenia, sinyal-sinyal yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai sambungan sel yang dituju.
Schizophrenia terbentuk secara bertahap dimana keluarga maupun penderita tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang lama. Kerusakan yang perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi schizophrenia yang tersembunyi dan berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan-lahan ini bisa saja menjadi schizophrenia akut. Periode schizophrenia akut adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan pikiran (delusi), dan kegagalan berpikir.
Kadang kala schizophrenia menyerang secara tiba-tiba. Perubahan perilaku yang sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan yang mendadak selalu memicu terjadinya periode akut secara cepat. Beberapa penderita mengalami gangguan seumur hidup, tapi banyak juga yang bisa kembali hidup secara normal dalam periode akut tersebut. Kebanyakan didapati bahwa mereka dikucilkan, menderita depresi yang hebat, dan tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya orang normal dalam lingkungannya.
Para Psikiater membedakan gejala serangan schizophrenia menjadi 2, yaitu gejala positif dan negatif.
Gejala positif
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespon pesan atau rangsangan yang datang. Penderita schizophrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri.
Gejala negative
Penderita schizophrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan energi dan minat dalam hidup yang membuat penderita menjadi orang yang malas. Karena penderita schizophrenia hanya memiliki energi yang sedikit, mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang lain selain tidur dan makan.
Inteligensi dan IQ
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
Faktor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Inteligensi dan IQ
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Kecerdasan Emosional
Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:
· Empati (memahami orang lain secara mendalam)
· mengungkapkan dan memahami perasaan
· mengendalikan amarah
· kemandirian
· kemampuan menyesuaikan diri
· disukai
· kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
· kesetiakawanan
· keramahan
· sikap hormat
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
· Membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
· Bekerja dalam kelompok secara harmonis
· Berbicara dan mendengarkan secara efektif
· Mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
· Mengatasi masalah dengan teman yang nakal
· Berempati pada sesame
· Memecahkan masalah
· Mengatasi konflik
· Membangkitkan rasa humor
· Memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
· Menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
· Menjalin keakraban
Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.

DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth B. 1987. Perkembangan Anak, Jakarta: Erlangga.
Merchati, S. 1983. Kesehatan mental, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM
Munandar, Utami, Kreativitas dan Keberbakatan; Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta : PT. Gramedia Pusataka Utama, 1999.
Syah,Muhibbin, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Terbaru, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1999.
Walgito, B. 1986. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM